Rabu, 05 Mei 2010
di
03.44
|
Misteri harta karun VOC di Pulau Onrust memang mengundang penasaran begitu banyak orang. Rasa penasaran yang dipicu oleh sebuah novel berlatar belakang sejarah dari penulis muda berbakat Eddri Sumitra Ito bertajuk Rahasia Meede.
TEKS DAN FOTO IWAN SAMARIANSYAH MEMENUHI ajakan Ade Purnama dari Sahabat Museum, sayapun ikut mendaftar sebagai peserta plesiran tempo doeloe. Pagi itu, 3 Agustus 2008, terburu-buru saya berangkat menuju ke Museum Sejarah Jakarta atau lebih dikenal dengan sebutan museum Fatahillah. Museum yang terletak di Jalan Taman Fatahillah No. 2, Kota, Jakarta Barat itu menjadi meeting point peserta plesiran tempo doeloe awal Agustus 2008 itu. Di luar dugaan, ternyata cukup banyak juga peminat wisata sejarah yang ingin tahu lebih banyak cerita dari masa lalu. Ada sekitar 400 orang lebih para ”pemburu” mitos harta karun VOC termasuk panitia yang berkumpul di halaman museum pagi itu sekitar pukul 07.00 WIB. Dibutuhkan tujuh bus dan 14 kapal motor untuk mengangkut seluruh peserta ke lokasi plesiran. Ada tiga narasumber yang akan menjadi tempat bertanya para peserta guna memuaskan rasa penasaran mereka. Mereka adalah Lilie Suratminto (Dosen UI dan penulis buku makna sosio-historis batu nisan VOC di Batavia), Alwi Shahab (wartawan senior dan penulis buku Betawi Queen of The East) dan Eddri Sumitra Ito alias E.S. Ito (penulis novel Rahasia Meede : Misteri Harta Karun VOC). Pulau Onrust terletak di teluk Jakarta. Pulau ini dapat dicapai dari Muara Kamal kira-kira tiga puluh menit perjalanan dengan kapal motor. Pulau ini disebut Onrust dari Bahasa Belanda yang dalam bahasa Inggris unrest artinya ”tidak pernah diam” atau ”tidak bisa beristirahat” karena di pulau ini pada masa kejayaan VOC memang sibuk terus, siang dan malam dipenuhi oleh kapal-kapal yang berlabuh ke pulau itu. Lilie Suratminto mengatakan bahwa Onrust menjadi tempat perbaikan kapal dan tempat berlabuhnya kapal-kapal Kompeni dari berbagai penjuru dari Asia dan Afrika dan juga dari Eropa. Berbagai kapal kompeni besar dan kecil harus melalui pos pabean di Onrust sebelum masuk ke Batavia. ”James Cook dalam perjalanannya ke Australia dan Selandia Baru pernah singgah dan memperbaiki kapalnya di sini,” ujarnya. Demikian juga saat Albert Tasman seorang pedagang Inggris di Batavia dalam memimpin ekspedisi menuju benua Australia bagian selatan dan pulau yang kemudian dinamakan dengan namanya yakni pulau Tasmania, armadanya berangkat dari pulau Onrust. Baik James Cook maupun Albert Tasman adalah tokoh-tokoh penjelajah samudera pada jamannya. Dari pulau inilah VOC, perusahaan dagang Belanda itu menancapkan kuku kolonialismenya di seluruh wilayah Nusantara. Menjatuhkan satu persatu penguasa lokal dan mengatur mereka dengan aturan yang menguntungkan VOC secara politik dan ekonomi. Onrust adalah pintu gerbang penjajahan kompeni di Indonesia sejak tahun 1610, hingga kebangkrutan perusahaan multinasional tua itu pada 31 Desember 1799. Pulau ini semula disewa dari Pangeran Jayawikarta pada tahun 1610, namun oleh VOC akhirnya dipergunakan untuk menggalang kekuatan untuk menghantam Jayakarta dan menguasainya sejak tahun 1619. Dari pulau ini Kompeni kemudian menguasai perdagangan dari Tanjung Harapan di Afrika Selatan sampai di Pulau Deshima (Hirado) di dekat Nagasaki Jepang, juga sampai Tanjung Hoom di Selat Magelhaen di Amerika Selatan. Pulau Onrust dikuasai seorang Baas (dalam bahasa Inggris Boss) yang bertugas untuk mengawasi kedatangan dan pemberangkatan kapal-kapal kompeni, memperbaiki kapal-kapal yang rusak, mendatangkan kayu-kayu dan tenaga ahli serta penyediaan budak-budak untuk dipekerjakan di sini. Pendek kata, inilah pulau kecil dengan kekuasaan maha besar. Onrust pada masa jayanya bisa disebut sebagai markas besar VOC. Boss pulau Onrust juga bertanggung jawab terhadap keselamatan rempah-rempah yang telah dikumpulkan dari berbagai penjuru Asia untuk diangkut ke Eropa. Oleh karena itu kekuasaan dari Baas Pulau Onrust ini sangat besar, karena semua pedagang harus tunduk pada peraturannya. Bahkan Gubernur Jenderal VOC di Batavia juga harus ikut pada aturan dari Baas pulau Onrust itu. Mitos harta karun VOC di pulau Onrust itu bermula dari keganjilan sejarah, bagaimana sebuah institusi dagang sebesar dan sekuat VOC mendadak bangkrut secara tiba-tiba. Sejak tahun 1789, pembukuan VOC telah mengalami defisit sebesar 74 juta gulden, dua tahun kemudian meningkat menjadi 96 juta gulden. Dan, pada saat dibubarkan, total beban hutang yang harus ditanggung VOC adalah sebesar 134 juta gulden. Sebagian dokumen malah menyebut angka 219 juta gulden. Setelah VOC dibekukan pada tahun 1798 dan kemudian dibubarkan pada 31 Desember 1799, semua hutangnya diambil alih pemerintah Belanda. Jadi, kekayaan yang ditinggalkan VOC adalah hutang sebesar 134 atau 219 juta gulden. ”Bagaimana mungkin semua kekayaan yang bersumber dari monopoli beragam komoditas bernilai jutaan gulden itu lenyap begitu saja ?” kata E.S. Ito saat ditanya soal mitos itu. Keserakahan, salah urus dan korupsi diduga menjadi salah satu penyebab bangkrutnya VOC. Anehnya, menjelang bangkrutnya VOC ketika perusahaan dagang tersebut nyaris tak lagi bisa membayar dividen tahunannya, pengiriman rempah-rempah bernilai mahal ke Eropa masih mampu menunjukkan tingkat keuntungan rata-rata yang tinggi. Dari sinilah muncul dugaan bahwa jutaan gulden harta kekayaan VOC telah digelapkan. Kekayaan VOC yang digelapkan oleh pejabatnya sendiri itu diduga dalam bentuk emas batangan, dan tak sempat terangkut ke negeri Belanda. Harta kekayaan itu diduga disembunyikan di salah satu tempat di negeri ini. Pulau Onrust, salah satu pulau yang menjadi tempat asal muasal kekuasaan maha dahsyat VOC diduga menjadi tempat penyembunyian harta karun tersebut. Salah satu bukti kuat bahwa harta karun VOC itu memang benar adanya terungkap setelah diketemukannya bangkai kapal De Geldermalsen, kapal dagang VOC yang tenggelam di selat Malaka pada tahun 1751. Pada tahun 1986, ekspedisi pemburu harta karun pimpinan Kapten Michael Hutcher menemukan 126 batang emas lantakan dan 160.000 benda keramik dinasti Ming dan Ching di bangkai kapal tersebut.
Padahal dari data sejarah diketahui, ada ratusan bangkai kapal dagang yang tidak pernah ditemukan hingga saat ini. Ada kurang lebih 105 buah kapal VOC yang tenggelam sepanjang tahun 1602 sampai dengan 1795. Pejabat VOC korup yang ingin mengangkut emas hasil jarahannya pasti ada yang bernasib sial, sebagaimana kasus De Geldermalsen. Belum lagi emas yang tertimbun di daratan dan belum sempat terangkut. Lilie Suratminto membenarkan bahwa sebagai sebuah pulau, Onrust belum sepenuhnya tereksplorasi oleh Pemda DKI Jakarta. Alasannya klasik, karena adanya keterbatasan dana operasional. Padahal secara arkeologis, Onrust sungguh sangat menarik. Di pulau ini diduga juga tersimpan banyak ruang bawah tanah yang belum terungkap. ”Makanya sayang sekali kalau diterlantarkan begini,” ujar dia. Fungsi pulau ini, kata Lilie, berubah-ubah. Setelah dihancurkan Inggris tahun 1800 dalam perang Inggris versus Belanda saat Inggris memblokade armada kapal Kompeni sehingga hubungan VOC dengan Amsterdam putus, Onrust luluh lantak. Ini juga menjadi salah satu faktor penyebab yang mempercepat kejatuhan VOC dan akhirnya gulung tikar dengan meninggalkan sejumlah mitos dan teka-teki soal harta karun. Setelah Inggris dapat dijinakkan dan undur ke Singapura, pulau ini lantas dibangun lagi oleh pemerintah Hindia-Belanda. Tetapi kejayaan Onrust memang sudah berlalu. Setelah kepergian Inggris, sempat dialihfungsikan sebagai markas angkatan laut Hindia-Belanda, namun pada tahun 1883 kembali hancur lebur oleh gelombang tsunami saat terjadinya letusan Gunung Krakatau di Selat Karimata. Setelah itu pulau ini difungsikan sebagai asrama haji sebelum jamaah haji jaman Hindia Belanda diberangkatkan ke Tanah Suci dengan tujuan untuk membiasakan para jemaah haji mengenal laut. Saat itu, jamaah Haji Hindia Belanda selama berbulan-bulan ada di atas laut dalam pelayaran menuju dan dari Tanah Suci. Pada waktu itu Pelabuhan Hindia-Belanda sudah ada di Tanjung Priok. Pernah juga pulau ini berfungsi sebagai rumah tahanan. BAhkan pada masa pasca revolusi fisik tempat ini dipakai sebagai tempat eksekusi Sekarmaji Marijan Kartosuwirjo, Imam dan pemimpin utama DI/TII. Pulau Onrust juga pernah difungsikan sebagai tempat karantina penyakit menular (lepra) yang kini sudah dipindah ke RS Sintanala Tangerang. Sayangnya, setelah masa G.30 S bangunan-bangunan di pulau ini dan pulau-pulau sekitarnya habis dijarah oleh warga sekitar, sehingga tinggal puing-puingnya saja. Oleh Pemerintah DKI Jakarta (No. CB.11/2/16/1972) dan SK Gubernur DKO No. 134 tahun 2002 pulau Onrust kemudian ditetapkan sebagai Pulau bersejarah dilindungi di bawah Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jaya. Di Pantai sebelah Barat Laut Pulau ini kini masih tersisa pemakaman Belanda. Ini adalah sisa dari pemakaman luas yang sudah dilanda abrasi dari tahun-ke tahun. Di situ ada makam Willemse Vogel kelahiran Edam Belanda (+1738), Kepala Pulau Onrust, Anna Andriana Duran (+1772) puteri pengasa Pulau Onrust Bastiaan Duran dan Maria van de Velde (+1721) kelahiran Amsterdam dan meninggal dalam usia 82 tahun. Kabarnya Maria yang cantik ini masih sering menampakkan diri di pulau ini pada malam-malam tertentu. Kekasihnya yang merasa sangat sedih dan merasa bahwa Tuhan tidak adil telah memisahkan Maria dengannya menulis sebuah puisi demikian (Bhs Belanda Abad 17). Maria Van De Veldes Lijk In’t Graf Geset Die Waardigh Was Om Vee Lange Jaren Tel Leven Hadde God Haar ‘T Leven Willen Sparen Dogh T Blijckt Iehova Heeft Dat Door Den Doot Belet Maria Dies Is Weg Maar Neen [I]K Herroep Dat Woort Als Onbedaght Gesprooken En ‘T Sy Van Myn Aanstont Op Heterdaat Gevrooken Maria Leeft By Haar Heer Gebooren Tot Amsterdam Deen 29 Desember 1693 Gestorven Den 19 November Anno Op Onrust 1721 Makna dari inskripsi pada batu nisan tersebut demikian : Jenazah Maria van de Velde dimakamkan di sini yang patut masih dapat hidup bertahun-tahun seandainya Tuhan berkehendak Tetapi ternyata, Jehova (Tuhan) Telah menghalangi dia dengan kematian Maria telah pergi, Maria telah tiada! Tetapi, tidak! Saya tarik kembali kata itu. Sebagai yang diucapkan tanpa berpikir Dan itu dapatlah karena ketergesa-gesaanku, langsung dihukum! Sekarang baru Maria hidup Sekarang ia hidup dengan Tuhannya Lahir di Amsterdam Pada tanggal 29 Desember 1693 Wafat pada tanggal 19 November Di pulau Onrust tahun 1721
Begitulah. Penelusuran jejak dan mitos harta karun di Pulau Onrust hanya menemukan sebuah sumur tempat penyimpanan air minum di salah satu pojok pulau. E.S. Ito, pengarang buku Rahasia Meede terinspirasi dengan ruangan bawah tanah tersebut dan dengan berani menyebut dalam novelnya bahwa di dalam salah satu ruang bawah tanah di Pulau Onrust itulah tersimpan harta karun VOC. Soal kebenarannya, tentu saja perlu pembuktian lebih lanjut. Apalagi akibat abrasi air laut, dari 12 hektar luas pulau Onrust kini hanya tersisa 7,5 hektar saja. Tanggul-tanggul yang dibangun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tahun 2003 sudah jebol, entah kapan lagi akan diperbaiki. Meskipun demikian fasilitas museum di Onrust sudah lumayan baik, bahkan ada foto-foto bersejarah serta video yang bisa diputar untuk pengunjung. Selain pulau Onrust, saya dan rombongan juga berkunjung ke gugusan pulau-pulau lainnya di sekitar Onrust yaitu Pulau Cipir, Pulau Kelor dan Pulau Bidadari. Bisa jadi yang paling menarik dan terawat baik adalah pulau Bidadari karena di tempat itu terdapat reruntuhan Benteng Mortello Tower. Pulau ini disebut juga sebagai pulau Purmerend atau Pulau Sakit, karena sejak 1679 dipakai sebagai tempat penampungan orang sakit. Dalam reruntuhan benteng ini kita bisa membayangkan bentuk pertahanan tradisional masa lalu, yang dibangun pada abad 17 dan 18. Pulau ini difungsikan sebagai penyangga pulau Onrust, dan sekarang dikelola oleh pihak swasta menjadi tempat wisata. Ada beberapa bangunan di atas air dan juga bangunan bergaya Manado dalam bentuk bangunan kayu bertingkat. Di sini didirikan pula sebuah menara pengawas. Adapun pulau Kelor tak sempat dihampiri berhubung ombak cukup besar. Padahal sebagaimana pulau Bidadari, disini terdapat pula reruntuhan benteng, yang sangat indah dan eksotik. Disini dulu ada rumah tinggal Daniel M, salah seorang mantan Kepala pulau Onrust. Rumah tersebut tenggelam karena abrasi laut. Yang tersisa hanya benteng saja, dan sangat sulit untuk disinggahi kapal. Kamipun hanya bisa memandangi dari jauh saja. Di pulau Cipir atau dalam bahasa Belanda Kuyper, ada sejumlah puing-puing bangunan yang tersisa setelah penjarahan tahun 1968. Ada bekas rumah sakit dan gereja. Sayang pulau ini adalah yang paling tidak terawat. Usang, porak poranda dan dipenuhi sampah dari laut. Berbagai macam sampah plastik, pakaian dalam perempuan, hingga pecahan keramik kuno berserakan di berbagai tempat. Kunjungan selama satu hari ke obyek wisata sejarah di teluk Jakarta itu sungguh mengesankan, dan membawa kita pada kenangan sejarah masa lalu yang tak terlupakan. Soal harta karun VOC sendiri tetaplah menjadi mitos yang menarik, meski sungguh sulit membuktikan keberadaannya. Meski E.S. Ito dengan yakin mengatakan bahwa dia percaya di bumi Indonesia harta karun VOC itu benar-benar ada. Entah dimana.
*) Naskah ini dimuat dalam rubrik Features di Majalah ARTi edisi 007, September 2008
Indonesia mulai berkembang pada zaman kerajaan Hindu-Buddha berkat hubungan dagang dengan negara-negara tetangga maupun yang lebih jauh seperti India, Tiongkok, dan wilayah Timur Tengah. Agama Hindu masuk ke Indonesia diperkirakan pada awal tarikh Masehi, dibawa oleh para musafir dari India antara lain: Maha Resi Agastya, yang di Jawa terkenal dengan sebutan Batara Guru atau Dwipayana dan juga para musafir dari Tiongkok yakni musafir Budha Pahyien.
Pada abad ke-4 di Jawa Barat terdapat kerajaan yang bercorak Hindu-Budha, yaitu kerajaan Tarumanagara yang dilanjutkan dengan Kerajaan Sunda sampai abad ke-16.
Pada masa ini pula muncul dua kerajaan besar, yakni Sriwijaya dan Majapahit. Pada masa abad ke-7 hingga abad ke-14, kerajaan Buddha Sriwijaya berkembang pesat di Sumatra. Penjelajah Tiongkok I-Tsing mengunjungi ibukotanya Palembang sekitar tahun 670. Pada puncak kejayaannya, Sriwijaya menguasai daerah sejauh Jawa Tengah dan Kamboja. Abad ke-14 juga menjadi saksi bangkitnya sebuah kerajaan Hindu di Jawa Timur, Majapahit. Patih Majapahit antara tahun 1331 hingga 1364, Gajah Mada, berhasil memperoleh kekuasaan atas wilayah yang kini sebagian besarnya adalah Indonesia beserta hampir seluruh Semenanjung Melayu. Warisan dari masa Gajah Mada termasuk kodifikasi hukum dan pembentukan kebudayaan Jawa, seperti yang terlihat dalam wiracarita Ramayana.
Masuknya ajaran Islam pada sekitar abad ke-12, melahirkan kerajaan-kerajaan bercorak Islam yang tangguh dan ekspansionis, seperti Samudera Pasai di Sumatera dan Demak di Jawa. Munculnya kerajaan-kerajaan tersebut, secara perlahan-lahan mengakhiri kejayaan Sriwijaya dan Majapahit, sekaligus menandai akhir dari era ini.
Kronologis- 300 - Indonesia telah melakukan hubungan dagang dengan India. Hubungan dagang ini mulai intensif pada abad ke-2 M. Memperdagangkan barang-barang dalam pasaran internasional misalnya: logam mulia, perhiasan, kerajinan, wangi-wangian, obat-obatan. Dari sebelah timur Indonesia diperdagangkan kayu cendana, kapur barus, cengkeh. Hubungan dagang ini memberi pengaruh yang besar dalam masyarakat Indonesia, terutama dengan masuknya ajaran Hindu dan Budha, pengaruh lainnya terlihat pada sistem pemerintahan.
- 300 - Telah dilakukannya hubungan pelayaran niaga yang melintasi Tiongkok. Dibuktikan dengan perjalanan dua pendeta Budha yaitu Fa Shien dan Gunavarman. Hubungan dagang ini telah lazim dilakukan, barang-barang yang diperdagangkan kemenyan, kayu cendana, hasil kerajinan.
- 400 - Hindu dan Budha telah berkembang di Indonesia dilihat dari sejarah kerajaan-kerajaan dan peninggalan-peninggalan pada masa itu antara lain prasasti, candi, patung dewa, seni ukir, barang-barang logam. Keberadaan kerajaan Tarumanagara diberitakan oleh orang Cina.
- 603 - Kerajaan Malayu berdiri di hilir Batang Hari. Kerajaan ini merupakan konfederasi dari para pedagang-pedagang yang berasal dari pedalaman Minangkabau. Tahun 683, Malayu runtuh oleh serangan Sriwijaya.
- 671 - Seorang pendeta Budha dari Tiongkok, bernama I-Tsing berangkat dari Kanton ke India. Ia singgah di Sriwijaya untuk belajar tatabahasa Sansekerta, kemudian ia singgah di Malayu selama dua bulan, dan baru melanjutkan perjalanannya ke India.
- 685 - I-Tsing kembali ke Sriwijaya, disini ia tinggal selama empat tahun untuk menterjemahkan kitab suci Budha dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Tionghoa.
- 692 - Salah satu kerajaan Budha di Indonesia yaitu Sriwijaya tumbuh dan berkembang menjadi pusat perdagangan yang dikunjungi oleh pedagang Arab, Parsi, dan Tiongkok. Yang diperdagangkan antara lain tekstil, kapur barus, mutiara, rempah-rempah, emas, perak. Wilayah kekuasaannya meliputi Sumatera, Semenanjung Malaya, Kamboja, dan Jawa. Sriwijaya juga menguasai jalur perdagangan Selat Malaka, Selat Sunda, dan Laut China Selatan. Dengan penguasaan ini, Sriwijaya mengontrol lalu lintas perdagangan antara Tiongkok dan India, sekaligus menciptakan kekayaan bagi kerajaan.
- 922 - Dari sebuah laporan tertulis diketahui seorang musafir Tiongkok telah datang kekerajaan Kahuripan di Jawa Timur dan maharaja Jawa telah menghadiahkan pedang pendek berhulu gading berukur pada kaisar Tiongkok.
- 1292 - Musafir Venesia, Marco Polo singgah di bagian utara Sumatera dalam perjalanan pulangnya dari Tiongkok ke Persia melalui laut. Marco Polo berpendapat bahwa Perlak merupakan sebuah kota Islam.
- 1292 - Raden Wijaya, atas izin Jayakatwang, membuka hutan tarik menjadi permukiman yang disebut Majapahit. Nama ini berasal dari pohon Maja yang berbuah pahit di tempat ini.
- 1293 - Raden Wijaya memanfaatkan tentara Mongol untuk menggulingkan Jayakatwang di Kediri. Memukul mundur tentara Mongol, lalu ia naik takhta sebagai raja Majapahit pertama pada 12 November.[1]
- 1293 - 1478 - Kota Majapahit menjadi pusat kemaharajaan yang pengaruhnya membentang dari Sumatera ke Papua, kecuali Sunda dan Madura. Kawasan urban yang padat dihuni oleh populasi yang kosmopolitan dan menjalankan berbagai macam pekerjaan. Kitab Negarakertagama menggambarkan keluhuran budaya Majapahit dengan cita rasa yang halus dalam seni, sastra, dan ritual keagamaan.[1]
- 1345-1346 - Musafir Maroko, Ibn Battuta melewati Samudra dalam perjalanannya ke dan dari Tiongkok. Diketahui juga bahwa Samudra merupakan pelabuhan yang sangat penting, tempat kapal-kapal dagang dari India dan Tiongkok. Ibn Battuta mendapati bahwa penguasa Samudra adalah seorang pengikut Mahzab Syafi'i salah satu ajaran dalam Islam.
- 1350-1389 - Puncak kejayaan Majapahit dibawah pimpinan raja Hayam Wuruk dan patihnya Gajah Mada. Majapahit menguasai seluruh kepulauan Indonesia bahkan jazirah Malaya sesuai dengan "Sumpah Palapa" yang menyatakan bahwa Gajah Mada menginginkan Nusantara bersatu.
- 1478 Majapahit runtuh akibat serangan Demak. Kota ini berangsur-angsur ditinggalkan penduduknya, tertimbun tanah, dan menjadi hutan jati.[1]
- 1570 - Pajajaran, ibukota Kerajaan Hindu terakhir di pulau Jawa dihancurkan oleh Kesultanan Banten.
Kerajaan Hindu/BuddhaKerajaan Hindu/Buddha di Kalimantan Kerajaan Hindu/Buddha di Jawa Kerajaan Hindu/Buddha di Sumatra
Sabtu, 01 Mei 2010
di
05.46
|
Kedatangan Bangsa Eropa di Berbagai Daerah Bangsa-bangsa Eropa yang datang ke Indonesia antara lain bangsa Portugis, Spanyol, Belanda, & Inggris. Kedatangan mereka disebabkan 3 faktor , yaitu : a. Mencari rempah-rempah b. Keinginan untuk menyebarkan agama Kristen c. Keinginan untuk bertualang d. Pandangan bumi bulat dari Corpernicus 1. Kedatangan bangsa Portugis Portugis adalah bagsa eropa yang pertama kali menginjakkan kakinya di Indonesia. Setelah tiba di Malaka, timbul niat untuk menguasai & menjadikan Malaka sebagai pusat kolini dagang portugis. Beberapa pelaut portugis yang memelopori penjelajahan samudra, adalah : a. Bartolomeuz Diaz Bartolomeuz Diaz mengawali pelayarannya dari Lisabon, Ibu kota Portugal. Ia berlayar dengan mengambil rute menyusuri pantai Barat Afrika. Pada tahun 1486, Bartolomeuz Diaz sampai di ujung selatan Benua Afrika. Ia terpaksa berhenti karena ombak cukup besar & angin bertiup kencang. Tempat berlabuh Bartolomeuz Diaz disebut dengan Tanjung Harapan. b. Vasco da Gama Pada tahun 1497 raja Portugis, Manuel I memerintahkan Vasco da Gama untuk berlayar ke timur mencari daerah asal rempah-rempah. Ia memulai pelayaran dari Lisabon. Rombongannya berlayar menyusuri pantai barat Afrika. Setelah sampai di tanjung harapan, Ia meneruskan pelayarannya hingga Mosambique. Ia berjumpa para pelaut Islam yang disebutnya orang Moor. Ia melanjutkan ekspedisinya memasuki Samudra Hindia & Laut Arab. Tahun 1498 rombongannya sampai di Kalikut & Goa di pantai barat India. Ditempat itu, ia mendirikan kantor dagang yang dilengkapi benteng. Suatu hal yang menarik dari ekspedisinya itu adalah dibawanya sejumlah batu padrao. Batu padrao adalah batu bertulis dengan lukisan bola dunia sebagai lambang kerajaan Portugis. Setiap daerah yang ditemukan/disinggahi akan diberi tanda dengan memancangkan batu padrao tersebut & diakui sebagai miliknya. Orang-orang portugis mengetahui bahwa ada tempat lain yang menjadi pusat perdagangan rempah-rempah di Asia, yaitu di Malaka c. Alfonso d’Albuquerque Pada tahun 1511, Portugis dibawah pimpinan Alfonso d’Albuquerque berhasil merebut & menguasai Malaka. Selain itu, Portugis melakukan sistem monopoli perdagangan dibandar dagang tersebut. Pada tahun 1512, 3 kapal Portugis dari malaka tiba di pulau Banda & terus ke Ambon untuk mencari rempah-rempah di Maluku. 2. Kedatangan bangsa Spanyol Portugis & Spanyol saling bersaing dalam upaya menemukan daerah penghasil rempah-rempah. Untuk memecahkan persaingan itu maka diadakan perjanjian Tordesilas pada tahun 1494. Dalam perjanjian itu ditegaskan oleh Paus bahwa dunia dibagi 2 bagian. Wilayah bagian timur dikuasakan kepada Portugis & wilayah bagian barat untuk Spanyol. Batas ke-2 wilayah itu dinamakan garis Tordesillas. Pada peta garis itu terlihat membentang dari kutub utara sampai ke kutub selatan melalui kepulauan Verdi di sebelah barat afrika. Beberapa pelaut Spanyol yang memelopori penjelajahan samudra, adalah : a. Chistoper Columbus Tahun 1492, benteng Granada sebagai beneteng pertahanan terakhir kekuasaan Islam di Spanyol dapat di kuasai tentara Spanyol. Kemudian ratu Isabella menghadiahkan kapal yang diberi nama Santa Maria kepada Christoper Columbus. Ia berusaha tanah Hindia yang diyakini sebagai tempat penghasil rempah-rempah. Pada tanggal 3 Agustus 1492, Colombus memulai pelayarannya. Ia mengawali pelayarannya dengan mengambil arah barat melalui Samudra Atlantik. Pada tanggal 12 Oktober 1492 Colombus berhasil mendarat di kepulauan Bahama, Amerika. Colombus mengira wilayah itu adalah Hindia. Oleh karena itu, penduduk yang ditemuinya di daerah itu ia sebut dengan Orang Hindian (Indian). Benua itulah yang kemudian dinamakan Amerika, diambil dari nama Amerigo. Oleh karena itu, Colombus disebut sebagai penemu dunia baru, yaitu Amerika. b. Ferdinand Magelhaens Ferdinand Magelhaens (adalah keturunan Portugis). Pada tanggal 10 Agustus 1519 rombongannya dengan 5 buah kapal berangkat dari Spanyol, berjumlah sekitar 265 orang. Wakil Magelhaens dalam ekspedisi ini adalah Kapten Juan Sebastian del Cano. Turut serta seorang penulis dari Italia bernama Pigafetta, penulis inilah yang mengisahkan perjalanan Magelhaens. Pada tahun 1521 sampailah rombongannya di kepulauan Massava (Philipina). Di kepulauan itu Ia mendirikan sebuah tugu peringatan untuk menyatakan bahwa kepulauan itu menjadi milik Spanyol. Tindakan pengusaan daerah & penyebaran agama Kristen itu telah menimbulkan perlawanan dari orang-orang Mactan, Magelhaens terbunuh dalam perlawanan itu. 3. Kedatangan bangsa Belanda Pada abad ke-16 Belanda dikuasai Spanyol. Perjuangan orang-orang Belanda untuk mebebaskan diri dari Spanyol menyebabkan terjadinya perang antara Belanda & Spanyol. Perang itu disebut dengan nama Perang 80 tahun. Tahun 1580 terjadi penyatuan antara Spanyol & Portugis. Situasi itu dimanfaatkan oleh Spanyol untuk menutup pasar Lisabon bagi para pedagang Belanda. Dengan demikian, belanda merasa sangat dirugikan. Hal ini yang mendorong belanda untuk mencari jalan menuju daerah penghasil rempah-rempah. Beberapa pelaut Belanda yang memelopori penjelajahan samudra, adalah : a. Barents Tahun 1594 Barents berusaha mencari daerah Timur (Asia). Ia mencari jalur lain, yaitu melalui kutub utara. Akan tetapi, perjalanan Barents ini terhenti karena air laut membeku. Ia berhenti disebuah pulau yang dikenal dengan Pulau Novaya Zemlya. Kemudian ia memutuskan untuk kembali, tetapi Ia meninggal dalam perjalanan. b. Cornelis de Houtman Tahun 1595 Cornelis de Houtman denagn 4 buah kapal memimpin pelayaran untuk mencari daerah asal rempah-rempah. Cornelis de Houtman mengambil jalur seperti yang ditempuh orang Portugis. Tahun 1596 Cornelis de Houtman bersama rombongannya berhasil sampai di Indonesia & merndarat di Banten. 4. Kedatangan bangsa Inggris Bangsa barat lainnya yang datang di Indonesia adalah Inggris. Pada abad ke-17 mereka sudah mempunyai organisasi dagang yang bernama East Indian Company (EIC). EIC berpusat di India. Pada tahun 1684, Inggris pernah menduduki Bengkulu. Beberapa pelaut Inggris yang memelopori penjelajahan samudra, adalah : a. Sir Francis Drake Rombongan Sir Francis Drake berlayar dari Inggris kearah barat. Ia berangkat pada tahun 1577. Dalam pelayarannya, ia singgah di Ternate & mendapatkan rempah-rempah. Drake melanjutkan pelayarannya untuk kembali ke negerinya & sampai di Inggris tahun 1580. b. Pilgrim Fathers Rombongan Pilgrim Fathers melakukan pelayaran dengan kapal May Flower. Rombongan itu berhasil mendarat di Amerika Utara tahun 1607. c. William Dampier William Dampier berhasil mendarat di Australia pada tahun 1608. Ia kemudian, melanjutkan pelayarannya dengan menelusuri pantai kearah Utara. d. James Cook James Cook pada tahun 1770 berhasil mendarat dipantai timur Australia. Pada tahun 1771 James Cook telah berhasil menjelajahi seluruh pantai di Australia. Oleh karena itu, James Cook sering disebut sebagai penemu benua Australia.
Ferdinand MagellanFerdinand Magellan (birth name in Portuguese: Fernão de Magalhães, Portuguese pronunciation: [fɨɾˈnɐ̃ũ ðɨ mɐɡɐˈʎɐ̃ĩs]; Spanish: Fernando de Magallanes; c. 1480 – April 27, 1521) was a Portuguese explorer. He was born at Sabrosa, in northern Portugal, but later obtained Spanish nationality in order to serve king Charles I of Spain in search of a westward route to the "Spice Islands" (modern Maluku Islands in Indonesia).
Magellan's expedition of 1519–1522 became the first expedition to sail from the Atlantic Ocean into the Pacific Ocean (then named "peaceful sea" by Magellan; the passage being made via the Strait of Magellan), and the first to cross the Pacific. It also completed the first circumnavigation of the Earth, although Magellan himself did not complete the entire voyage, being killed during the Battle of Mactan in the Philippines. (Magellan had, however, traveled eastwards to the Malay Peninsula on an earlier voyage, so he became one of the first explorers to cross all of the meridians of the globe.) Of the 237 men who set out on five ships, only 18 completed the circumnavigation and managed to return to Spain in 1522,[1][2] led by the Basque navigator Juan Sebastián Elcano, who took over command of the expedition after Magellan's death. Seventeen other men arrived later in Spain: twelve men captured by the Portuguese in Cape Verde some weeks earlier and between 1525 and 1527, and five survivors of the Trinidad.
Magellan also gives his name to the Magellanic Penguin, which he was the first European to note,[3] and the Magellanic clouds, now known to be nearby dwarf galaxies.
Early life and travelsMagellan was born around 1480 at Sabrosa, near Vila Real, in the province of Trás-os-Montes, in Portugal. He was the son of Rui de Magalhães (son of Pedro Afonso de Magalhães and wife Quinta de Sousa) and wife Alda de Mesquita and brother of Duarte de Sousa, Diogo de Sousa and Isabel de Magalhães. After the death of his parents during his tenth year he became a page to Queen Leonor at the Portuguese royal court because of his family's heritage.
In March 1505, at the age of 25, Magellan enlisted in the fleet of 22 ships sent to host D. Francisco de Almeida as the first viceroy of Portuguese India. Although his name does not appear in the chronicles, it is known that he remained there eight years, in Goa, Cochin and Quilon. He participated in several battles, including the battle of Cannanore in 1506, where he was wounded. In 1509 he fought in the battle of Diu[4] and later sailed under Diogo Lopes de Sequeira in the first Portuguese embassy to Malacca, with Francisco Serrão, his friend and possibly cousin.[5] In September, after arriving at Malacca, the expedition fell victim to a conspiracy ending in retreat. Magellan had a crucial role, warning Sequeira and saving Francisco Serrão, who had landed.[6] This performance earned him honors and a promotion.
In 1511, under the new governor Afonso de Albuquerque, Magellan and Serrão participated in the conquest of Malacca. After the conquest their ways parted: Magellan was promoted, with a rich plunder, and in the company of a Malay he had indentured and baptised Enrique of Malacca, returned to Portugal in 1512. Serrão departed in the first expedition sent to find the "Spice Islands" in the Moluccas, where he remained, having married a woman from Amboina and becoming a military advisor to the Sultan of Ternate, Bayan Sirrullah. His letters to Magellan would prove decisive, giving information about the spice-producing territories.[7][8]
After taking a leave without permission, Magellan fell out of favour. Serving in Azemmour he was wounded and got a permanent limp. He was also accused of trading illegally with the Moors. The accusations were proved false, but there were no further offers of employment after May 15, 1514. Later on in 1515, he got an employment offer as a crew member on a Portuguese ship, but rejected it having left Portugal after a quarrel with king D. Manuel I, who denied his persistent demands to lead an expedition to reach the spice islands from west. In 1517 he left for Spain, where he soon married Beatriz Barbosa having had two children: Rodrigo de Magalhães[9] and Carlos de Magalhães, both of whom died at a young age. Meanwhile he devoted himself to studying the most recent charts, investigating, in partnership with cosmographer Rui Faleiro, a gateway from the Atlantic to the South Pacific and the possibility of the Moluccas being Spanish according to the demarcation of the Treaty of Tordesillas.
Voyage of circumnavigationBackground: Spanish search for a westward route to AsiaThe aim of Christopher Columbus' 1492–1503 voyages to the West had been to reach the Indies and to establish commercial relations between Spain and the Asian kingdoms. The Spanish soon realized that the lands of the Americas were not a part of Asia, but a new continent. The 1494 Treaty of Tordesillas reserved for Portugal the eastern routes that went around Africa, and Vasco da Gama and the Portuguese arrived in India in 1498. It became urgent for Spain to find a new commercial route to Asia, and after the Junta de Toro conference of 1505, the Spanish Crown set out to discover a route to the west. Spanish explorer Vasco Núñez de Balboa reached the Pacific Ocean in 1513 after crossing the Isthmus of Panama, and Juan Díaz de Solís died in Río de la Plata in 1516 while exploring South America in the service of Spain.
Funding and preparationIn October 1517 in Seville, Magellan contacted Juan de Aranda, Factor of the Casa de Contratación. Then, following the arrival of his partner, Rui Faleiro, and with the support of Aranda, they presented their project to the Spanish king, Charles I, future Charles V. Magellan's project was particularly interesting, since it would open the "spice route" without damaging relations with the neighbouring Portuguese. The idea was in tune with the times. On March 22, 1518 the king named Magellan and Faleiro captains so that they could travel in search of the spice islands in July. He raised them to the rank of Commander of the Order of Santiago. The king granted them:[10]
- Monopoly of the discovered route for a period of ten years.
- Their appointment as governors of the lands and islands found, with 5% of the resulting net gains.
- A fifth of the gains of the travel.
- The right to levy one thousand ducats on upcoming trips, paying only 5% on the remainder.
- Granting of an island for each one, apart from the six richest, from which they would receive a fifteenth.
The expedition was funded largely by the Spanish Crown and provided with ships carrying supplies for two years of travel. Diogo Ribeiro, a Portuguese who had started working for Charles V in 1518[11] as a cartographer at the Casa de Contratación, took part in the development of the maps to be used in the travel. Several problems arose during the preparation of the trip, including lack of money, the king of Portugal trying to stop them, Magellan and other Portuguese incurring suspicion from the Spanish and the difficult nature of Faleiro.[12] Finally, thanks to the tenacity of Magellan, the expedition was ready. Through the bishop Juan Rodríguez de Fonseca they obtained the participation of merchant Christopher de Haro, who provided a quarter of the funds and goods to barter.
The fleet Victoria, the sole ship of Magellan's fleet to complete the circumnavigation. Detail from a map by Ortelius, 1590. The fleet provided by King Charles V included five ships: the flagship Trinidad (110 tons, crew 55), under Magellan's command; San Antonio (120 tons, crew 60) commanded by Juan de Cartagena; Concepcion (90 tons, crew 45) commanded by Gaspar de Quesada; Santiago (75 tons, crew 32) commanded by Juan Serrano; and Victoria (85 tons, crew 43), named after the church of Santa Maria de la Victoria de Triana, where Magellan took an oath of allegiance to Charles V, commanded by Luis Mendoza. Trinidad was a caravel, and all others rated as carracks or "naus".
The crewThe crew of about 234 included men from several nations: Portuguese, Spanish, Italians, Greeks and French. Spanish authorities were wary of Magellan, so that they almost prevented him from sailing, switching his mostly Portuguese crew to mostly men of Spain. Nevertheless, it included about 40 Portuguese, among them Magellan's brother in law Duarte Barbosa, João Serrão, a relative of Francisco Serrão, Estêvão Gomes and also Magellan's indentured servant Enrique of Malacca. Faleiro, who had planned to accompany the voyage, withdrew prior to boarding. Juan Sebastián Elcano, a Spanish merchant ship captain settled at Seville, embarked seeking the king's pardon for previous misdeeds and Antonio Pigafetta, a Venetian scholar and traveller, had asked to be on the voyage accepting the title of "supernumerary" and a modest salary, becoming a strict assistant of Magellan and keeping an accurate journal. The only other sailor to report the voyage would be Francisco Albo, who kept a formal logbook.
Departure and crossing of the AtlanticOn August 10, 1519, the five ships under Magellan's command – Trinidad, San Antonio, Concepción, Victoria and Santiago – left Seville and descended the Guadalquivir River to Sanlúcar de Barrameda, at the mouth of the river. There they remained more than five weeks. Finally they set sail on September 20.
King Manuel I ordered a Portuguese naval detachment to pursue Magellan, but Magellan avoided them. After stopping at the Canary Islands, Magellan arrived at Cape Verde, where he set course for Cape St. Augustine in Brazil. On November 27 the expedition crossed the equator; on December 6 the crew sighted South America.
As Brazil was Portuguese territory, Magellan avoided it and on December 13 anchored near present-day Rio de Janeiro. There the crew was resupplied, but bad conditions caused them to delay. Afterwards, they continued to sail south along South America's east coast, looking for the strait that Magellan believed would lead to the Spice Islands. The fleet reached Río de la Plata on January 10, 1520.
On 30 March the crew established a settlement they called Puerto San Julian (Argentina). On April 2 a mutiny involving two of the five ship captains broke out, but it was unsuccessful because most of the crew remained loyal. Juan Sebastián Elcano was one of those who were forgiven. Antonio Pigafetta, related that Gaspar Quesada, the captain of Concepcion, was executed; Juan de Cartagena, the captain of San Antonio, and a priest named Padre Sanchez de la Reina were instead marooned on the coast. Another account states that Luis de Mendoza, the captain of Victoria, was executed along with Quesada.[13] Reportedly those killed were drawn and quartered and impaled on the coast; years later, their bones were found by Sir Francis Drake.[14][15]
Passage into the PacificThe journey resumed. The help of Duarte Barbosa was crucial to face the riot in Puerto San Julian, becoming since then captain of the Victoria. The Santiago was sent down the coast on a scouting expedition and was wrecked in a sudden storm. All of its crew survived and made it safely to shore. Two of them returned overland to inform Magellan of what had happened, and to bring rescue to their comrades. After this experience, Magellan decided to wait for a few weeks more before again resuming the voyage.
At 52°S latitude on October 21 the fleet reached Cape Virgenes and concluded they had found the passage, because the waters were brine and deep inland. Four ships began an arduous trip through the 373-mile (600 km) long passage that Magellan called the Estrecho (Canal) de Todos los Santos, ("All Saints' Channel"), because the fleet travelled through it on November 1 or All Saints' Day. The strait is now named the Strait of Magellan. Magellan first assigned Concepcion and San Antonio to explore the strait, but the latter, commanded by Gómez, deserted and returned to Spain on November 20. On November 28 the three remaining ships entered the South Pacific. Magellan named the waters the Mar Pacifico (Pacific Ocean) because of its apparent stillness.[13] Magellan was the first European to reach Tierra del Fuego just east of the Pacific side of the strait.
Death in the PhilippinesHeading northwest, the crew reached the equator on February 13, 1521. On 6 March they reached the Marianas and Guam. Magellan called Guam the "Island of Sails" because they saw a lot of sailboats. They renamed it to "Ladrones Island" (Island of Thieves) because many of Trinidad's small boats were stolen there. On 16 March Magellan reached the island of Homonhon in the Philippines, with 150 crew left. Members of his expedition became the first Spaniards to reach the Philippine archipelago, but they were not the first Europeans.[16]
Magellan was able to communicate with the native tribes because his Malay interpreter, Enrique, could understand their languages. Enrique was indentured by Magellan in 1511 right after the colonization of Malacca and was at his side during the battles in Africa, during Magellan's disgrace at the King's court in Portugal and during Magellan's successful raising of a fleet. They traded gifts with Rajah Siaiu of Mazaua[17] who guided them to Cebu on April 7.
Rajah Humabon of Cebu was friendly towards Magellan and the Spaniards, both he and his queen Hara Amihan were baptized as Christians. Afterward, Rajah Humabon and his ally Datu Zula convinced Magellan to kill their enemy, Datu Lapu-Lapu, on Mactan. Magellan had wished to convert Lapu-Lapu to Christianity, as he had Humabon, a proposal of which Lapu-Lapu was dismissive. On the morning of April 27, 1521, Magellan sailed to Mactan with a small attack force. During the resulting battle against Lapu-Lapu's troops, Magellan was shot by a poisonous arrow and later surrounded and finished off with spears and other weapons.
Pigafetta and Ginés de Mafra provided written documents of the events culminating in Magellan's death:
"When morning came, forty-nine of us leaped into the water up to our thighs, and walked through water for more than two cross-bow flights before we could reach the shore. The boats could not approach nearer because of certain rocks in the water. The other eleven men remained behind to guard the boats. When we reached land, [the natives] had formed in three divisions to the number of more than one thousand five hundred people. When they saw us, they charged down upon us with exceeding loud cries... The musketeers and crossbow-men shot from a distance for about a half-hour, but uselessly... Recognizing the captain, so many turned upon him that they knocked his helmet off his head twice... A native hurled a bamboo spear into the captain's face, but the latter immediately killed him with his lance, which he left in the native's body. Then, trying to lay hand on sword, he could draw it out but halfway, because he had been wounded in the arm with a bamboo spear. When the natives saw that, they all hurled themselves upon him. One of them wounded him on the left leg with a large cutlass, which resembles a scimitar, only being larger. That caused the captain to fall face downward, when immediately they rushed upon him with iron and bamboo spears and with their cutlasses, until they killed our mirror, our light, our comfort, and our true guide. When they wounded him, he turned back many times to see whether we were all in the boats. Thereupon, beholding him dead, we, wounded, retreated, as best we could, to the boats, which were already pulling off."[18]
Magellan provided in his will that Enrique, his interpreter, was to be freed upon his death. However, after the Battle of Mactan, the remaining ships' masters refused to free Enrique. Enrique escaped his indenture on May 1 with the aid of Rajah Humabon, amid the deaths of almost 30 crewmen. Pigafetta had been jotting down words in both Butuanon and Cebuano langauges — which he started at Mazaua on Friday, 29 March and grew to a total of 145 words — and was apparently able to continue communications during the rest of the voyage. The Spaniards offered the natives merchandise in exchange for Magellan's body, but they were declined and so his body was never recovered.[19]
Return Magellan's - Elcano voyage. Victoria, one of the original five ships, circumnavigated the globe, finishing 16 months after the explorer's death. The casualties suffered in the Philippines left the expedition with too few men to sail all three of the remaining ships. Consequently, on May 2 they abandoned Concepción and burned the ship. The fleet, reduced to Trinidad and Victoria, fled westward to Palawan. They left that island on June 21 and were guided to Brunei, Borneo by Moro pilots who could navigate the shallow seas. They anchored off the Brunei breakwater for 35 days, where Pigafetta, an Italian from Vicenza, recorded the splendour of Rajah Siripada's court (gold, two pearls the size of hens' eggs, etc.). In addition, Brunei boasted tame elephants and armament of 62 cannons, more than 5 times the armament of Magellan's ships, and Brunei disdained cloves, which were to prove more valuable than gold, upon the return to Spain. Pigafetta mentions some of the technology of the court, such as porcelain and eyeglasses (both of which were not available or only just becoming available in Europe).
After reaching the Maluku Islands (the Spice Islands) on November 6, 115 crew were left. They managed to trade with the Sultan of Tidore, a rival of the Sultan of Ternate, who was the ally of the Portuguese.
The two remaining ships, laden with valuable spices, attempted to return to Spain by sailing westwards. However, as they left the Spice Islands, the Trinidad began to take on water. The crew tried to discover and repair the leak, but failed. They concluded that Trinidad would need to spend considerable time being overhauled, but the small Victoria was not large enough to accommodate all the surviving crew. As a result, Victoria with some of the crew sailed west for Spain. Several weeks later, Trinidad departed and attempted to return to Spain via the Pacific route. This attempt failed. Trinidad was captured by the Portuguese, and was eventually wrecked in a storm while at anchor under Portuguese control.
Victoria set sail via the Indian Ocean route home on December 21, commanded by Juan Sebastián Elcano. By May 6 the Victoria rounded the Cape of Good Hope, with only rice for rations. Twenty crewmen died of starvation before Elcano put into Cape Verde, a Portuguese holding, where he abandoned 13 more crew on July 9 in fear of losing his cargo of 26 tons of spices (cloves and cinnamon).
On September 6, 1522, Elcano and the remaining crew of Magellan's voyage arrived in Spain aboard the last ship in the fleet, Victoria, almost exactly three years after they departed. Magellan had not intended to circumnavigate the world, only to find a secure way through which the Spanish ships could navigate to the Spice Islands; it was Elcano who, after Magellan's death, decided to push westward, thereby completing the first voyage around the entire Earth.
Maximilianus Transylvanus interviewed some of the surviving members of the expedition when they presented themselves to the Spanish court at Valladolid in the autumn of 1522 and wrote the first account of the voyage, which was published in 1523. The account written by Pigafetta did not appear until 1525 and was not wholly published until 1800. This was the Italian transcription by Carlo Amoretti of what we now call the Ambrosiana codex. The expedition eked out a small profit, but the crew was not paid full wages.[20]
Four crewmen of the original 55 on Trinidad finally returned to Spain in 1525, 51 of them had died in war or from disease. In total, approximately 232 Spanish, Portuguese, Italian, French, English and German sailors died on the expedition around the world with Magellan.[21]
SurvivorsWhen Victoria, the one surviving ship, returned to the harbor of departure after completing the first circumnavigation of the Earth, only 18 men out of the original 237 men were on board. Among the survivors there were two Italians, Antonio Pigafetta and Martino de Judicibus. Martino de Judicibus (Spanish: Martín de Judicibus) was a Genoese or Savonese[22] Chief Steward.[23] His history is preserved in the nominative registers at the Archivo General de Indias in Seville, Spain. The family name is referred to with the exact Latin patronymic, "de Judicibus". He was initially assigned to the caravel Concepción, one of five ships of the Spanish fleet of Magellan. Martino de Judicibus embarked on the expedition with the rank of captain.
18 men returned to Seville aboard Victoria in 1522:
Name | Rating |
Juan Sebastián Elcano, from Getaria | Master |
Francisco Albo, from Rodas (in Tui, Galicia) | Pilot |
Miguel de Rodas (in Tui, Galicia) | Pilot |
Juan de Acurio, from Bermeo | Pilot |
Antonio Lombardo (Pigafetta), from Vicenza | Supernumerary |
Martín de Judicibus, from Genoa | Chief Steward |
Hernándo de Bustamante, from Alcántara | Mariner |
Nicholas the Greek, from Nafplion | Mariner |
Miguel Sánchez, from Rodas (in Tui, Galicia) | Mariner |
Antonio Hernández Colmenero, from Huelva | Mariner |
Francisco Rodrigues, Portuguese from Seville | Mariner |
Juan Rodríguez, from Huelva | Mariner |
Diego Carmena, from Baiona (Galicia) | Mariner |
Hans of Aachen, (Holy Roman Empire) | Gunner |
Juan de Arratia, from Bilbao | Able Seaman |
Vasco Gómez Gallego, from Baiona (Galicia) | Able Seaman |
Juan de Santandrés, from Cueto (Cantabria) | Apprentice Seaman |
Juan de Zubileta, from Barakaldo | Page |
Aftermath and legacy Monument of Ferdinand Magellan in Punta Arenas in Chile. The statue looks towards the Strait of Magellan. Antonio Pigafetta's journal is the main source for much of what we know about Magellan and Elcano's voyage. The other direct report of the voyage was that of Francisco Albo, last Victoria's pilot, who kept a formal logbook. However, it was not through Pigafetta's writings that Europeans first learned of the circumnavigation. Rather, it was through an account written by Maximilianus Transylvanus, a relative of sponsor Christopher de Haro, published in 1523. Transylvanus interviewed some of the survivors of the voyage when Victoria returned to Spain in September 1522.
In 1525, soon after the return of Magellan's expedition, Charles V sent an expedition led by García Jofre de Loaísa to occupy the Moluccas, claiming that they were in his zone of the Treaty of Tordesillas. This expedition included the most notable Spanish navigators: Juan Sebastián Elcano, who lost his life then, and the young Andrés de Urdaneta. They reached with difficulty the Moluccas, docking at Tidore. The conflict with the Portuguese already established in nearby Ternate started nearly a decade of skirmishes over the possession.
Since there was not a set limit to the east, in 1524 both kingdoms had tried to find the exact location of the antimeridian of Tordesillas, which would divide the world into two equal hemispheres and to resolve the "Moluccas issue". A board met several times without reaching an agreement: the knowledge at that time was insufficient for an accurate calculation of longitude, and each gave the islands to their sovereign. An agreement was reached only with the Treaty of Zaragoza, signed on 1529 between Spain and Portugal, atributting the Moluccas to Portugal and the Philippines to Spain. The course that Magellan charted was followed by other navigators, like Sir Francis Drake, and the Manila-Acapulco route was discovered by Andrés de Urdaneta in 1565.
Magellan's expedition was the first to circumnavigate the globe and the first to navigate the strait in South America connecting the Atlantic and the Pacific ocean, its name derived from the Latin name Tepre Pacificum (peaceful sea), bestowed upon it by Magellan.
Magellan's crew observed several animals that were entirely new to European science, including a "camel without humps", which was probably a guanaco, whose range extends to Tierra del Fuego, unlike the llama, vicuña or alpaca, whose ranges are confined to the Andes mountains. A black "goose" that had to be skinned instead of plucked was a penguin.
The full extent of the Earth was realized, since their voyage was 14,460 Spanish leagues (60,440 km or 37,560 mi). The need for an International Date Line was established. Upon returning they found their date was a day behind, even though they had faithfully maintained the ship's log. They lost one day because they traveled west during their circumnavigation of the globe, opposite to Earth's daily rotation.[24] This caused great excitement at the time and a special delegation was sent to the Pope to explain the oddity to him.
Two of the closest galaxies, the Magellanic Clouds in the southern celestial hemisphere, were named for Magellan sometime after 1800. The Magellan probe, which mapped the planet Venus from 1990 to 1994, was named after Magellan. In addition, The Ferdinand Magellan train rail car (also known as U.S. Car. No. 1) is a former Pullman Company observation car which was re-built by the U.S. Government for presidential use from 1943 until 1958.
(sumber:http//www.wikipedia.org//ferdinad magellan)
|
MARVEL and SPIDER-MAN: TM & 2007 Marvel Characters, Inc. Motion Picture © 2007 Columbia Pictures Industries, Inc. All Rights Reserved. 2007 Sony Pictures Digital Inc. All rights reserved. blogger templates
|